‘Eh Cina!’. Mungkin kalian sering mengatakan itu kalau memanggil seorang teman keturunan Cina. Ya, memang, itu kata yang sangat lazim. Tapi tahukah kalian, itu adalah kata yang sangat kubenci. Meski aku adalah seorang warga Indonesia keturunan Cina, aku sangat tidak suka disebut Cina. Kenapa? Karena dengan kata itu, aku merasa aku adalah orang asing, bukan orang Indonesia, bukan seorang Warga Negara Indonesia! Padahal, aku sama dengan mereka yang menyebutku Cina. Aku lahir, hidup, berpijak, dan menghirup udara di negara yang sama dengan mereka. Indonesia! Negara Kesatuan Republik Indonesia! Lalu mengapa mereka memanggilku seakan aku adalah orang asing? Apa karena kulitku yang kuning langsat? Mataku yang sipit? Perlu kalian ketahui, meskipun aku keturunan Cina, aku tetap berdarah Indonesia, berwarga negara Indonesia. Dan aku lebih bangga menjadi Warga Negara Indonesia, negara berkembang dengan segala kebobrokannya, daripada menjadi warga negara Inggris, Amerika, atau negara-negara besar lainnya. Aku cinta negara ini, meski jika mengingat tragedi 1998, di mana orang-orang keturunan Cina diburu, dibunuh, diperkosa, dan dibantai, hatiku masih miris. Tapi, apalah artinya itu, itu hanya hal lalu yang telah menjadi sejarah.
Ya, kalian sudah mengerti kan sekarang betapa aku mencintai negeri penuh benang kusut ini. Sekarang kuperkenalkan aku dan keluargaku. Aku adalah Christopher Li Ramawitjaya, keluargaku memanggilku Li, tapi aku lebih suka dipanggil Rama, nama itu lebih Indonesia. Seperti yang sudah kujelaskan, aku adalah seorang WNI keturunan Cina generasi kedua, jadi kecinaanku masih terlihat jelas.
Ayahku adalah seorang pengusaha sukses, atau perlu kukatakan sangat sukses. Ibuku sendiri adalah tipe ibu-ibu arisan, well, seperti istri pengusaha kebanyakan. Orang-orang yang cuma mirikin berlian, Channel, LV, Gucci, vas antik, dan barang-barang gak guna lainnya. Selanjutnya, kakakku, Nicky Li Ramawitjaya, orang ini lebih nyina daripada aku dari segi gen, dan hal itu terlihat dari wajahnya. Aku sangat amat tidak suka dengan orang ini, dia berbeda sekali denganku. Contohnya, dari segi latar belakang pendidikan. Aku selalu bersekolah di sekolah pribumi, sedangkan orang ini selalu bersekolah di sekolah internasional yang kebanyakan isinya Cina semua. Jadi, menurutku itu sebenarnya bukan sekolah internasional, tapi sekolah Cina! Meskipun dia sekolah di sekolah yang berstandar internasional, aku yakin 1000% kalau aku jauh lebih cerdas daripada dia, dan aku berani taruhan kalau dia lebih bodoh dibanding pribumi. Wajarlah, menurut dia aja, sekolah itu cuma formalitas, yang artinya, kalo gak sekolah juga gak bakal bikin kita miskin. Toh nantinya kita mau bodo, mau pinter tetep diwarisin perusahaan ayah, katanya. Anak ini gak bener banget deh pokoknya, sekarang aja kuliah gak kelar-kelar. Umur 15 tahun, dia udah rajin bolak-balik bar sama diskotik. What a stupid, fool, and silly man he is! Dan yang buat aku tambah gak suka, dia mandang orang pribumi itu sebagai orang rendahan, yang berlevel di bawah dia. Can you imagine? He looks more stupid when says these. He says these even though he is more stupid than the natives! Pengen banget aku bikin dia hidup di tahun 80-an, biar dia bisa ngerasain disebut orang rendahan. Apa dia gak sadar, orang rendahan itulah yang ngasih kita tempat tinggal, perusahaan, dan uang. Uang! Kertas bercetak angka-angka yang sangat menentukan hidup di negeri ini. Yang bahkan dapat membeli sebuah nyawa! Konyol! Dan hebatnya lagi, di negeri ini, kertas ini sebagian besar hanya dimonopoli oleh orang keturunan Cina. Padahal, ini adalah tanah orang pribumi, orang-orang pribumi itu hanya bekerja sebagai pesuruh orang keturunan, meski merekalah yang memilki tanah. Meski merekalah rajanya. Satu lagi, aku punya seorang sahabat keturunan yang sepikiran juga denganku, dia adalah Daniel. Dia punya usaha laundry sendiri, hebat kan, gak kaya orang bodoh tadi. Kita temenan dari SMP, dan kita dipertemukan karena hobi yang sama, membolos kelas bahasa Mandarin. Dan, panggilan Daniel, juga gak suka disebut Cina.
Cukup untuk pengenalannya. Aku sendiri sekarang berada di angkot dalam perjalanan ke kampus, meski punya mobil, aku lebih suka angkutan masal ini. Untuk sekedar pemberitahuan, aku adalah seorang mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung jurusan manajemen bisnis sekaligus jurusan ilmu politik. Manajemen bisnis kupilih karena paksaan keluarga, berbeda dengan Dan yang dengan senang hati masuk jurusan ini, sedangkan ilmu politik kupilih karena mengikuti kata hatiku. Nah, hari ini aku ada kelas ilmu politik.
“Kiriii, kiri payun, Jang!” seru seorang ibu di sebelahku. Wah, ternyata tujuan kita sama ya, Bu. Aku pun ikut turun dengan ibu itu tepat di hadapan kampusku, dan memberikan dua lembar uang seribu rupiah pada si ujang tukang angkot.
***
“Jadi, seiring dengan berjalannya waktu, persoalan yang dihadapi oleh negeri ini pun semakin rumit. Maka dari itu, kalia ini yang akan menjadi penerus bangsa di masa mendatang harus belajar dan berusaha dengan serius, bukannya malah tidur kaya si Iwan di belakang!” Pak Dadang, dosen mata pelajaran ini, menunjuk Iwan dengan gaya khasnya, tegas tapi tetap santai.
Iwan pun hanya bisa gelagapan ditembak sama Pak Dadang gitu. “Cita-cita kamu apa, Wan?” tanya Pak Dadang.
“Hemm, cita-cita saya sih jadi anggota parlemen Pak!” Iwan menjawab mantap. “Ya elah Wan. Apa jadinya Indonesia kalo anggota parlemennya kaya ente, molor terus!” celetuk Rio yang langsung disambut gelak tawa seisi kelas.
“Bener kata Rio, Wan. Apa jadinya kalo anggota parlemen tidur terus,” tambah Pak Dadang, “Coba Rama, cita-cita kamu apa?” tembak Pak Dadang.
“Kalo cita-cita saya sih sederhana, Pak, saya hanya ingin mengubah Indonesia” jawabku.
“Mengubah? Kamu mau jadi apa, Ram?” dahi Pak Dadang sedikit berkerut mendengar jawabanku.
“Jadi presiden atau jadi anggota parlemen kaya ana, Ram?” timpal Iwan.
“ Presiden mah terlalu berat bebannya, terlalu banyak hajat hidup orang yang digantungkan pada kata-kata seorang presiden.”
“Jadi, kamu mau jadi anggota parlemen, Ram?” sambar Pak Dadang.
“Gak deh, Pak, saya belum kuat iman kalo ntar disodorin duit miliaran untuk hal gak bener. Saya mau jadi guru, Pak!”
“Guru? Udah lah, Ram, Cina mah bisanya bisnis doang, sana gih lo bikin bisnis yang gede biar Indonesia maju!”
Telingaku memerah mendengar kata-kata itu. Kuhadapkan tubuhku ke arah Andreas, dengan sorot mata tajam. Suasana menegang. “Cina?! Siapa bilang Cina cuma bisa bisnis! Gue mau ngubah negara ini dari akarnya. Gue mau ngajar anak-anak dengan akhlak dan pengetahuan yang bener, biar negara ini bener nantinya! Ngapain jadi anggota parlemen yang gahar di mulut doang, ato jadi presiden yang cuma bagus imagenya?! Mending benerin sistem pendidikan di negeri ini, buat semua anak bisa sekolah. Kita tuh kalah pendidikan sama negara lain, mereka sangat memperhatikan dunia pendidikan, gak kayak kita, yang di mana pendidikan itu cuma formalitas!” semua kata-kata keluar dari mulutku dengan lancar dalam intonasi yang sangat pas, penuh penekanan.
“Alah, Cina ngomongin negara! Cina mah cuma bisa ngomongin bisnis, tahu!” timpal Andreas tajam.
“Cina cuma tahu bisnis kata lo! Lo liat ya, gue bakal buktiin kalo Cina juga bisa berbuat untuk negeri ini! Kalo cina-cina anggota PPKI aja bisa bicara nasionalisme, kenapa gue engga! Don’t look something in general way if you
No comments:
Post a Comment