wanna be a leader, don’t follow the waves, the noise, native!” ujarku penuh emosi dan penekanan pada kata-kata cina dan native.
***
“Hei, Bro!” Dan langsung duduk di kursi kosong di mejaku, “Ada apa lo cemberut mengkerut gitu?” tanyanya sambil minum orange squash pesanannya. Suasana kantin yang riuh sedikit menenggelamkan suaranya.
“Gak, cuma lagi kesel sama anak Cina!” kukunyah bala-bala dengan amarah. Hah, semuanya gara-gara Andreas!
“Ohh, hahaha, be patient, bro! Eh, gue mau cerita nih,”
“Cerita apa?” aku sedikit antusias sekarang. Dan selalu bawa cerita-cerita yang rame dan menghibur.
“Jadi gini, kemaren ada orang keturunan dateng bawa cucian banyak ke laundry gue. Nah, si dia ini ngajak gue ngomong pake bahasa mandarin. Nah, lo tau sendiri kan gue kagak ngarti amat tuh dia ngomong apa, pokoknya yang ketangkep sama gue tuh intinya; dia minta diskon, sebagai sesama keturunan. Dia ngomongin juga tentang begonya temen-temen dia yang pribumi, intinya sih ngejelekin!
“Terus gue bilang gini nih, Ram: ‘eh Mas, saya lebih suka ngasih diskon sama orang yang ngajak ngomong saya pake bahasa Sunda daripada orang yang ngajak ngomong bahasa Mandarin, sambil minta diskon pula! Abis itu pake jelek-jelekin orang asli lah. Ga sadar apa lo, yang lo jelek-jelekin itu raja di tanah yang kita pijak ini! Coba lo idup di taun 80-an, bisa ga lo ngomong gitu!’ Gitu kata gue. Eh, tu orang langsung ngambil cuciannya, abis itu kabur sambil maki-maki gue pake bahasa Mandarin. Bilang gue ga tau leluhur lah, budak orang bego lah!”
“Ternyata masih banyak ya keturunan yang mikir kalo mereka itu berlevel di atas orang asli,”
“Iya, bete gue. Eh, lo ngajar ga hari ini? Kalo lo mau, kita berangkat bareng.”
Aku dan Dan sangat concern di dunia pendidikan, kita berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini dengan berbagai cara. Dan salah satu caranya adalah mengajar di sekolah pribumi yang kurang layak, atau bisa disebut juga miskin. Dan untuk diketahui, aku dan Dan mengajar secara sukarela di salah satu SD kawasan kumuh di daerah Dago. Dan sering mengajari mereka untuk berbisnis kecil-kecilan. Sedangkan aku sendiri lebih suka mengajari mereka pengetahuan dan keterampilan. Kami biasa mengajar 3 kali seminggu. Pada awalnya, kepala sekolah SD itu bingung, mengapa dua orang keturunan Cina mau mengajar di sekolah kumuh seperti itu, setelah kita jelaskan konsep keturunan dan warga negara seperti yang kuberi tahu di awal tadi, dia langsung mengiyakan dan sangat berterima kasih pada kami. Selain itu,kita juga suka mengajar di sekolah jalanan di daerah bawah flyover Pasopati.
“Ga Dan, si ayah ngajak gue ketemu ama patner kerjasamanya yang baru” aku sebenarnya sangat tidak suka hal-hal seperti ini, pertemuan bisnis. “Ini penting banget, Dan. Kontraknya atas nama gue. ”
“Kenapa ga si Nicky aja?”
“Orang itu bisanya apa sih, Dan? Kaya lo ga tau sendiri aja.”
***
“Jadi gini loh, Pak, saya menawarkan kerjasama pembangunan mall di daerah Dago. Prospeknya sangat bagus loh, kita bisa dapet untung sampai tiga kali lipat. Dan kita juga dapat saham di mall itu.” Fendy Reynaldi Wijaya. Umur 50-an, bersetelan jas bonafide, beraroma pafum mahal keluaran luar, memegang cerutu kuba kualitas terbaik. Dan, tamak! Dari kesannya aja udah keliatan.
“Hemm, cukup menggiurkan juga ya Pak. Kalau saya boleh tahu, lahan apa yang akan kita gusur untuk proyek mall ini?” ayah bertanya antusias. Aku sendiri dari tadi hanya duduk diam di sebelah ayah.
“Ada beberapa rumah kumuh dan sebuah SD pribumi gak jelas.” asap cerutu melingkar-lingkar di atas kepalanya.
Aku tersentak. “Emang gak ada lokasi lain, yang tidak mengharuskan kita menggusur sebuah SD?”
“Itu lokasi paling strategis, Nak. Lagipula, untuk apa mempertahankan SD kumuh seperti itu. Toh nantinya anak-anak yang sekolah di sana hanya akan menjadi orang rendahan. Cuma jadi tukang becak, preman, dan lainnya. Mereka cuma orang-orang pribumi bodoh.”
“Pak, meskipun mereka hanya pribumi, tidak sekaya kita, mereka tetap berhak mendapatkan pendidikan yang layak seperti kita, seperti orang keturunan lainnya! Mau jadi apa nanti mereka, itu urusan mereka, yang penting, mereka harus mendapatkan pendidikan! Kalau sekolah mereka digusur, mereka mau sekolah di mana?! Kecuali kalau Bapak membuatkan sekolah pengganti bagi mereka!”
“Untuk apa? Mereka juga toh hanya akan jadi orang rendah.”
“Kita ini tinggal di tanah mereka, Pak! Mereka adalah raja yang mempunyai tanah ini! Jadi mereka berhak atas tanah ini!” mukaku merah menahan amarah.
“Kita tinggal angkat mereka jadi cleaning service di mall itu. Selesai kan?”
“Cleaning service? Tak adakah posisi yang lebih pantas dari itu? Daripada menjadi cleaning service, lebih baik mereka belajar di sekolah kumuh itu!”
“Oh, Chris! Kau ini orang keturunan Cina berpendidikan tinggi. Kita sudah digariskan dari zaman kolonial untuk jadi tuan mereka. Mereka hanyalah pesuruh kita. Tidak lebih! Jadi tidak penting mereka berpendidikan atau tidak.”
“Pokoknya aku tidak setuju! Ayah, kontrak ini atas namaku, jadi aku yang memutuskan! Dan aku memutuskan untuk tidak menandatangani kontrak ini!” aku sudah berdiri dan bersiap pergi.
“Tunggu Chris, kontrak ini memang atas namamu. Selama kau hidup.” ucapnya sedikit berdesis, bibirnya menyunggingkan senyum licik.
“Ya, selama aku hidup! Ayah, ayo kita pergi sekarang!”
***
Sudah seminggu sejak pertemuan bisnisku dengan si bodoh Fendy. Dan sejak saat itu, aku selalu mendapatkan teror dari orang tidak dikenal. Pertama, seseorang mengirimkan surat ancaman pembunuhan padaku, lalu e-mail. Dan yang lebih parah lagi, dia mengirimiku sms! Dia tahu nomor teleponku! Aku sangat yakin ini adalah pekerjaan si bodoh Fendy. Ternyata, dia orang yang sangat picik, budak uang! Rela membunuh hanya demi uang! Padahal dia bukan orang yang kekurangan uang, perusahaannya di mana-mana, uangnya tak terhitung jumlahnya. Aset-asetnya bertebaran di mana-mana. Mansion di California, resort di pantai Devor, Inggris, dan lainnya.
Sekarang aku dalam perjalanan pulang dari mengajar di sekolah jalanan, sendirian. Seharusnya aku pulang bersama Dan, tapi, karena ada diskon detergen besar-besaran di supermarket, dia langsung pamit dengan wajah berbinar.
Senja sudah surut, hitam mulai menyelimuti Bandungku. Entah mengapa, aku merasa inilah waktu terakhirku melihat senja di kota indah ini. Aku berjalan di bawah bayangan tiang-tiang beton penyangga flyover. Tapi, ada yang aneh, aku merasa ada orang yang mengikutiku. Aku melangkah sambil memasang pendengaran tajam. Sejenak, teror-teror yang kudapat terlintas di kepalaku.
Tap, tap. Langkahku
Tap. Langkah orang lain!
Aku menoleh dengan sigap ke belakang, dan bingo! Aku menemukan seorang lelaki berperawakan besar dan menyeramkan. “Siapa kamu? Ada perlu apa denganku?”
“Wah, ternyata ketahuan. Aku ke sini untuk menjadi malaikat pencabut nyawamu.”
“Utusan siapa kau? Si bodoh Fendy?”
“Kau sudah tahu rupanya. Aku adalah pekerja kesayangannya. Aku pun sudah tahu tentang masalahmu dengannya. Baik sekali kau, memperjuangkan hak-hak pribumi yang diinjak-injak Cina-Cina bodoh itu. Aku berterima kasih padamu.
“Dunia berputar begitu cepat, 12 tahun yang lalu, Cina-Cina itulah yang tidak diakui keberadaannya, diinjak-injak, dianaktirikan, yang direndahkan oleh kami, para pribumi. Tapi 12 tahun berlalu dan apa yang terjadi? Semuanya terbalik sekarang, kitalah yang rendahan di mata mereka, kitalah yang tak dianggap dan dilihat sebelah mata oleh mereka.”
“Lalu, kalau kau berterima kasih kepadaku, mengapa kau tetap mau membunuhku?”
No comments:
Post a Comment