Pages

Saturday 21 January 2012

Feeling, Feels


26 Desember 2004. GMT+7

Baling-baling helikopter mengeluarkan suara desingan yang mengganggu, dan anginnya membuat dedaunan semak yang tersisa semakin berantakan. Bella hanya bisa mencengkram tanganku untuk meredam ketakutannya saat helicopter bermanuver vertical, dikarenakan daerah landas yang sangat hancur, hanya tersisa beberapa meter persegi tanah yang stabil dan aman didarati. 2 jam yang lalu kami mendarat di kapal induk US Navy Seal di Samudra Pasifik dan kemudian menuju tempat ini dengan helikopter.
Pendaratan telah usai, aku membuka pintu helikopter untuk melihat keadaan sekitar. Oh Gosh! What heck on earth did it! Bau amis langsung menerjang hidungku, dan sekarang, aku hampir tidak percaya apa yang aku lihat. Mayat bergeletakan dimana-mana dalam keadaan yang mengenaskan, kendaraan-kendaraan sudah tak berbentuk, pohon-pohon tumbang dengan posisi yang aneh, bangunan rata dengan tanah, dan air laut menggenang dimana-mana, salah satunya membuat genangan kecil di atas sepatu ketsku. Genangan kecil air laut itu telah bercampur dengan lumpur, keringat, dan darah dari mayat-mayat disekitar. Segala pemandangan dan bau ini membuatku pusing dalam waktu kurang dari semenit.
Where I am? What the heck on earth I’ve stepped on?!
***
25 Desember 2004. GMT-5
Aku menggambar-gambar kartun saat mengisi waktu senggangku malam ini sambil menunggu Neil memberikan gambarnya pada editor in chief. Kami mendapatkan berita eksklusif penangkapan pelaku pencurian Bank of United State yang menggemparkan itu beberapa jam lalu. Lelah menyergapku, bayangkan saja aku tadi harus berlari dalam hujan salju untuk menjadi saksi proses penangkapan itu agar dapat melaporkan dan membuat berita sedetil mungkin.
“Hei, hei, lihat screen sekarang!” seru Mark dengan tergesa-gesa dan napas terengah-engah.
Semua mata di ruangan ini sekarang telah tertuju pada sebuah big screen ditengah ruangan yang sedang menayangkan breaking news dari sebuah stasiun tv asing. Semua orang tercekat, mereka menatap tanpa berkedip, dengan tangan terkepal dan hati berdegup. Ini adalah saat-saat menegangkan bagi para jurnalis haus pengalaman, cerita, penuh nyali, dan tidak takut mati. Beberapa menit lagi nama-nama pasti akan dipanggil, aku ikut menuggu dengan hati yang juga berdegup. Aku tidak tahu itu dimana, tapi aku tahu aku ingin kesana. August disebelahku memanjatkan doa-doa agar ia dipilih untuk dapat pergi, aku? Aku harus berdoa pada siapa? Aku tak percaya pada mereka yang disebut-sebut namanya dalam permohonan orang-orang.
Pintu ruangan editor in chief terbuka, gerombolan orang langsung terbentuk di depannya.jantungku berdegup cepat. Ia berteriak menyebut beberapa nama dari ambang pintu dengan secarik kertas di tangannya. “Bella Louisa, repoter. Neil Cowley, cameramen…mm
Semua mata menatapnya dengan tatapan cemas. Oh man, Bella dan Neil akan pergi! Aku? Degup jantungku semakin cepat. Oo, you know you need a great script writer, New York Times!
“.. Clark Smith, script writer, and Tom Dan who has responsibility of them all! Get in my room, now!
Aku sangat lega, tapi lututku lemas.
Location : Country       : Indonesia
     Provence     : Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
                 City                        : 149 km south of Meulaboh
Details :  Earthquake-Tsunami
               Tectonic 8,5 SR. Epicentrum : Indian Ocean (2,9 latitude and 95,6 altitude). Depth: 20 km underwater.  
***

26 Desember 2004. GMT+7
“Neil, cepatlah!”
“Oh sabarlah sedikit Clark. Dimana lensa night mode-ku?” Neil mengacak-ngacak tas khusus segala keperluan kameranya. “Nah, ayo Clark”, dia memasukkan kamera dan lensanya ke tas kamera yang lebih kecil untuk dibawa.
Aku dan Neil keluar dari tenda kami di hamparan rumput luas yang diisi banyak tenda. Ini semua tenda milik para jurnalis dari berbagai negara yang ingin meliput.
***
26 Desember 2004. GMT+7
“Jadi begitu aturan yang harus kalian patuhi selama meliput keadaan disini, saya harap anda semua sebagai kalangan yang terpelajar dapat memahami dan melaksanakannya dengan baik. Terima kasih” penanggung jawab segala kegiatan yang terjadi disini, Bireun, selesai memberikan penjelasan tentang aturan peliputan. Dengan bantuan seorang jurnalis tv swasta dari Indonesia yang memperkenalkan dirinya sebagai Awan, kami mengerti apa-apa saja aturannya.
“Jadi, New Yorkers, kalian dari New York Times?” Tanya Awan, nampaknya dia dapat menjadi patner yang baik dalam kegiatan memburu berita tragedi ini.
“Ya, tadi pagi, mm, sekitar satu jam setelah kami mendapat berita tentang tsunami ini, kami langsung diberangkatkan dari New York. Awan, bisakah kau menceritakan padaku tentang kronologi kejadian ini?”
“Bagaimana itu terjadi dan beberapa gambar jika kau punya mungkin?” lanjut Neil.
“Hh, akan kuceritakan apa yang kutahu esok hari, dan gambar, you better watch by your biologic eyes than this mechanic eye, bro.” ujar Awan sambil menunjuk lensa pada kamera yang tergantung di lehernya, ia seorang cameramen juga ternyata.
“Besok? Itu terlalu lama. Berikan saja dulu beberapa info kecil, Wan. Ayolah”
“Haha, besok sajalah, sekarang perkenalkan dulu rekan setimku, Embun, dan Teuku, putra tanah Aceh ini sendiri”
Aku menjabat tangan Teuku, kesedihan terlihat jelas dari mata dan wajahnya, matanya seperti menerawang penuh sedih dan wajahnya terlihat pucat. Awan mengatakan adik Teuku belum ditemukan hingga hari ini dan ayahnya ditemukan dalam keadaan tewas beberapa jam lalu, maka aku mejabat erat tangan dinginnya dan memberi beberapa kata penyemangat, ia membalasnya dengan senyum tipis ganti kata terima kasih.
Lalu, Embun. Semampai, kulit kuning langsat kecoklatan khas Asia Tenggara, hidung mancung, rambut hitam lurus melewati bahu yang dikucir kuda dengan rambut-rambut yang mencuat keluar dari ikatannya. Dan yang sangat menyita perhatianku adalah matanya, mata besar hitam yang memancarkan kecerdasan dan terlihat sangat dalam, tanpa ujung. Dia menjabat tanganku sambil memberi senyum ramah. She’s.. totally awesome.
“Oke Clark, Neil, aku tunggu kalian di gerbang kamp besok jam 6 pagi”
“Kau akan menceritakkannya esok hari kan, Wan?” sambar Neil antusias
No, I won’t, they will” Awan menyapukan pandangannya kesekeliling tempat kami bekumpul yang penuh dengan benda-benda yang sangat amat berantakan dan mayat-mayat yang bergelimangan dimana-mana. Matanya yang awalnya memancarkan keceriaan dan kesupelannya berubah menjadi nyalang, dan penuh kesedihan.
Dengan seketika hawa berubah, Neil mengikuti pandangan Awan, ikut menyapukan pandangannya, dan dengan segera mata dan raut wajahnya berubah, begitupula denganku.
They will, kata-kata ini mengingatkanku dimana kita berada sekarang, langsung menghentikan napas jurnalisku yang selalu butuh berita bagaimana pun keadaan sekitar. Tapi aku berada di lokasi pembantaian ratusan ribu orang oleh alam beberapa jam yang lalu. Sekarang.
***

26 Desember 2004. GMT+7
Aku dan Neil masih belum sepenuhnya sadar saat kembali ke tenda dan akan tidur.
“Dimana tepatnya kita sekarang Clark?” Tanya Neil tanpa memadangku, matanya menatap langit-langit tenda dengan tatapan nyalang.
“Di tempat yang bisa aku sebut sebagai neraka. Tempat orang-orang yang tubuhnya kau lihat dijalan meregang nyawa dalam hitungan detik tanpa surat wasiat dan kata-kata terakhir” aku berbaring di sampingnya dengan keadaan mata dan pikiran yang tidak jauh berbeda.
“Kau tahu, baru saat ini aku merasa seakan aku adalah setan. Aku akan menyebarkan foto sebuah mayat yang pada saat ia akan meninggal ia sedang berusaha menyelamatkan anaknya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menyebarkan foto mayat seorang kakek tua yang tetap berdoa di dalam masjid menatap ajalnya tanpa mencoba melarikan diri. Menyebarkan pada dunia foto seorang ayah yang mencari anaknya tanpa kenal waktu dan puluhan orang menangis di depan mayat orang-orang tercintanya.” Dia membalikkan badannya memunggungiku.
Kata-kata Neil meresap dengan sangat baik ke dalam otak dan.. hatiku. “Maka aku adalah iblis, Neil. Aku menjual cerita orang tua yang kehilangan anak lengkap dengan ratapan tanpa hentinya” Dadaku sesak, baru kali ini, disaat begini. Aku, makhluk tanpa rasa kasihan. Aku menjual mereka.
Susah sekali untuk memejamkan mata malam ini.
***
27 Desember 2004. GMT+7
Awan dan Embun sedang memakai masker saat aku dan Neil tiba di gerbang kamp. Mereka saling memakaikan masker, pemandangan yang sedikit mengiritasi mataku dan membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
Awan menyadari kedatangan kami, “Morning Clark, Neil” melambaikan tangannya ke arah kami. High five dengan senyum yang sedikit dipaksakan sebagai ganti balasan morningku padanya. 
“Tidur nyenyak Clark?” Embun mengeluarkan kata-kata pertamanya selain namanya sejak kita bertemu, dan itu ditujukan padaku!
“Nyenyak atau tidak, aku harus tetap tidur kan, hehehe”
“Iya, kau benar. Rasanya aku selalu mendengar jerit tangis mereka yang kehilangan orang-orang tersayangnya yang nanti akan kita pajang sebagai headline saat mencoba untuk tidur”
Ternyata. Embun merasakan hal yang sama seperti yang aku, Neil, dan Awan rasakan. Ironi seorang jurnalis, dihadapkan pada rasa kemanusiaan yang harus mengorek-ngorek dan mengekspos cerita duka orang lain. Dan mendapat prestise, materi, dan pencapaian dari hal itu. Semakin menyedihkan berita yang kita dapat, semakin besar jumlah uang yang didapat.
Ini ironi jurnalis. Aku mulai berpikir tadi malam untuk tidak memberi berita tentang kehilangan secara mendalam dari korban untuk kali ini, hanya mengekspos tentang bencana tsunami dan proses evakuasi serta penyaluran bantuan yang sedang berlangsung. Ini semua kulakukan untuk menghormati perasaan para korban, pelajaran yang baru kudapat setelah 5 tahun bertugas sebagai seorang jurnalis.
***
27 Desember 2004. GMT+7
“Disini sebelumnya sebuah sekolah dasar, katanya pada saat tsunami datang, anak-anak sedang bermain di lapangan sebelah sana” Embun menunjuk sebuah daerah kosong yang penuh dengan lumpur di seberang kami. Dia menemaniku berjalan-jalan sambil melihat-lihat dan bercerita. Sedangkan Awan pergi dengan Neil ke daerah pesisir untuk mengambil gambar kerusakan yang paling parah.
Aku membayangkan anak-anak sedang bermain penuh gembira bersama-sama saat tiba-tiba gelombang setinggi puluhan kaki datang menerjang mereka. Aku menekuri lumpur di bawah kaki, mengorek kisah apa saja yang dibawa tiap inchinya.
“Clark, kemarin aku kemari, sekitar 4 jam setelah tsunami. Ini tempat yang pertama kutuju saat berjalan menyusuri daerah sekitar kamp. Aku hanya diam di tempat ini, meyusuri tiap sudutnya, lalu aku menyadari bahwa ini adalah sebuah sekolah dasar. Lalu aku melihat seorang kakek dengan keadaan yang basah kuyup, baju robek-robek, badan kotor, yang sedang berusaha masuk ke reruntuhan gedung sekolah, aku bertanya padanya ada apa. Ia sedang mencari cucunya yang duduk di kelas 2. Ia selamat dari tsunami karena ia sedang berada di bukit saat kejadian. Dan ia kembali ke sini untuk mencari cucunya, cucu kesayangannya. Rencananya ia akan memberikan cucunya buku cerita baru yang selama ini diinginkannya hari itu. Dia telah membeli buku cerita itu, lalu pergi ke bukit, dan.. kau tahu kelanjutannya. Kakek itu datang kesini sambil membawa buku cerita itu. Dia pun membuatkan sebuah puisi yang indah untuk cucunya. Dia menceritakan semuanya padaku sampai menangis, anak-anaknya, orang tua cucunya, ditemukan telah tewas. Satu-satunya yang belum diketahui keadaannya adalah cucunya, ia sangat berharap cucunya masih hidup. Cucunya, alasan dia berusaha untuk tetap hidup dan bertahan saat tsunami datang, melawan arus, menyelamatkan dirinya dan tetap mengamankan buku ceritanya. Setelah tsunami, mengabaikan keadaannya sendiri, dia langsung pergi kesini mencari cucunya. Tapi ternyata, tidak ada seorang pun yang tersisa disini, tapi dia terus mencari dan mencari.” Embun bercerita tanpa menatapku, dan aku mendengarkan tanpa menatapnya, kami menatap reruntuhan sekolah di depan. Jeda cerita ini membuatku mengimajinasikan semuanya, berperan seakan aku adalah sang kakek.
 “Dan kakek itu memperlihatkanku sebuah foto. Fotonya yang sedang menggendong seorang anak kecil dipundaknya. Anak itu terlihat sangat senang dan kakek pun tersenyum bahagia. Dia bilang, ia ingin kejadian dalam foto itu terjadi lagi, jadi dia harus menemukan cucunya.” Embun memandang ke arahku, mencari mataku. Senyumnya tipis dan getir.
Mataku memandang kosong ke depan, jiwa jurnalisku yang ingin mengangkat semua kisah, senang atau sedih, bergejolak, ini sebuah cerita dan berita yang sangat bagus. Aku ingin mengingkari janjiku sendiri untuk membuat semua orang tahu cerita ini. Tapi janji dan hatiku masih mencegahnya. Aku tetap memandang lurus ke depan. “Embun, sedari tadi kita disini, di depan sebuah bukti sejarah. Kau sama sekali tidak mengambil gambar?” tanyaku, kamera tersampir di lengannya.
“Aku ingin melihatnya, merasakannya sendiri. Untuk kuingat sendiri, tanpa memberitahu dunia luar. Melihat yang dirasakan orang-orang yang kehilangan itu. Melihat dengan perasaan. Melihat dengan hati. Aku ingin menjadi manusia sekarang, yang ingin merasakan bagaimana rasanya jika aku meratap di depan mayat anakku, lalu ada seseorang memotretku dan keesokkan harinya fotoku menjadi headline di dunia luar. Kadang jiwa kita tak punya hati, Clark”
Aku, fotoku di depan mayat ibuku, tercetak di ribuan eksemplar koran, tersebar di ribuan website. Cerita sedihku yang tak ingin kubagi dan diungkit diketahui semua orang. Lalu orang yang bahkan sama sekali yang tidak kukenal memberi kata turut berduka cita, hal yang paling tak kusuka. Aku ingat, itu terjadi 10 tahun yang lalu, kejadian yang sangat kubenci karena semua orang tahu ibuku meninggal dan semuanya menatapku dengan tatapan iba yang seakan aku tak mampu apa-apa, bagaikan anak anjing yang dibuang.
Janjiku.
***
27 Desember 2004. GMT+7
            Laki-laki di depanku ini berumur 13 tahun. Lelaki tampan dengan kemampuan bahasa Inggris yang baik. Aku bertemu dengannya saat dia sedang mencari di reruntuhan. Mencari adiknya. Aku mengajaknya untuk mengobrol sebentar, sambil membantunya mencari adiknya. Ia menceritakan bagaimana ia sangat sayang pada adiknya, bagaimana mereka berdua sudah menyiapkan kejutan ulang tahun untuk ibu mereka minggu depan. Hingga ia bercerita saat adiknya diganggu oleh teman-temannya atau saat ia mendapati adiknya mendapat surat dan coklat dari teman lelakinya. Saat adiknya menangis melihat ia jatuh dari sepeda, dan saat adiknya memeluk erat dirinya karena ketakukan melihat hantu di rumah hantu. Ia bercerita sampai menangis.
            “Bagaimana perasaanmu kalau ada seseorang menjual ceritamu ini?”
            “Tidak bisa terdefinisi, aku marah, sedih. Perasaan bukan hanya kata benda, tapi juga kata kerja. Merasakan perasaan, perasaan itu sebuah kata benda, merasa adalah kata kerja. Kau harus merasakan sebuah perasan. Aku tidak butuh pemberitaan semacam itu, aku hanya butuh adikku.”
            Aku tahu itu. “Kalau yang menjual beritamu seorang jurnalis? Mereka butuh itu untuk kehidupannya”
            “Tak bisakah mereka membuat berita lain selain drama kehidupan orang? Aku tak ingin jadi jurnalis, mereka menjual cerita-cerita terburuk orang lain. Saat mereka tak peduli perasaanku, haruskah aku peduli akan hidup mereka? Kurasa tidak”
            “Kalau aku ini seorang jurnalis?”
            “Tak akan kumaafkan kau seumur hidupku, bukankah lebih baik jika kau hanya membantuku, hanya membantu, tanpa mempermalukan dan memberiku semacam luka.”
“Kalau aku tetap menulisnya?”
“Apa yang bisa aku perbuat? Hanya, semua hal butuh hati. Detektif memiliki tingkat kepekaan privacy yang sangat tinggi, lebih tinggi dari orang kebanyakan. Karena mereka tahu rasanya saat privacynya dilanggar, meski tidak merasakannya sendiri. Jurnalis pun bisa lebih peka perasaannya terhadap suatu kejadian daripada narasumber yang merasakannya sendiri.”
Ia benar
“Menurutku Tuhan sengaja membuatnya seperti itu, agar mereka dapat berpikir sebelum bertindak, karena mereka hidup di medan abu-abu, Tuhan selalu memberi petunjuknya dengan perasaan itu. Karena mereka selalu memegang peranan penting dalam suatu kejadian.”
Tuhan?
***
28 Desember 2004. GMT+7
Semua peristiwa kemarin terus terbayang. Sejak percakapan-percakapan itu aku hanya dapat berjalan menyaksikan kerusakan kota ini tanpa mampu mengambil gambar atau merangkai cerita.
Sebuah file telah terketik rapi di notebookku, aku tinggal menekan enter dan beberapa detik kemudian kisah sedih seorang ayah yang kehilangan anak-anaknya akan tiba di New York. Bella memberiku berita ini saat aku sampai ke tenda dengan keadaan bimbang, dia memintaku mengubahnya menjadi sesuatu yang menarik. Ini akan dihargai sangat mahal katanya.
Jujur, aku ingin prestise yang akan aku dapat di dunia jurnalistik jika aku dapat mengekspos semua kisah sedih yang ada disini, kisah sedih yang nyata. Tapi, aku juga teringat perasaanku 10 tahun yang lalu. Selalu mendapat tatapan iba.
Tapi itu wajar, Clark. Lupakan itu semua, kau pun nantinya akan bereaksi sama jika kau menjadi orang lain. Siapa lagi yang dapat menulis kisah sebaik dirimu, tak ada. Artikelmu akan menjadi bahan perbincangan di New York, bahkan dunia.
Clark, kau pernah merasakannya, saat semua orang tahu dan selalu mengaitkanmu dengan kejadian yang tak ingin kau bagi dengan siapa pun. Saat kau benci cerita terburuk dalam hidupmu menjadi bahan bacaan ribuan orang, bahkan ada yang menertawaimu karena cerita itu.
Hanya hal wajar yang kau rasakan dulu itu. Pikirkan, setelah kepulanganmu ke New York, aku yakin, seorang Clark Adam Smith tak akan sama lagi seperti dulu, harus berlomba bersama puluhan orang lainnya hanya untuk mewawancarai kepala NYPD.
Kau tahu rasanya, Clark. Kau melihatnya, kau merasakannya. Kau merasakannya dan sekarang kau melihatnya.
Ini pekerjaan jurnalis, tidak ada yang salah dari ini semua.
Clark, jurnalis hanyalah sebuah profesi, pakai hatimu. Kau punya kuasa, tapi tak semua jiwa punya hati. Clark, kau tahu rasanya diperlakukan tanpa hati.
Beep. SMS dari Embun.
‘Aku mendengar apa yg Bella bicarakan dan apa yg mau dia dan kau lakukan. Aku hanya mau memberi tahumu, di dunia ini ada 3 macam gol,. Yg menciptakan perang,  yg mencegah dan mengobati luka perang, dan yg mengharapkan perang utk sebuah drama. Apa kita hrs menjadi pemburu drama ditengah perang, Clark?’
Ini kesempatan emasmu Clark, ini akan lebih menghebohkan daripada berita penangkapan perampok Bank of United State atau beritamu dari Israel bulan lalu.
‘Adam, the last thing you’ve to have even when you’ve nothing remain is this, heart’
‘Heart? I’ve to keep it pounding to make me still alive, Mom?’
‘Hahaha, no, keep it warm, honey. Think and decide with your heart also. Make it always feels everything. When you’ve nothing, even your knowledge, people will still help you if you let your heart always feels and warm.’
“Perasaan bukan hanya kata benda, tapi juga kata kerja. Merasakan perasaan, perasaan itu sebuah kata benda, merasa adalah kata kerja. Kau harus merasakan sebuah perasan.”
“Menurutku Tuhan sengaja membuatnya seperti itu, agar mereka dapat berpikir sebelum bertindak, karena mereka hidup di medan abu-abu, Tuhan selalu memberi petunjuknya dengan perasaan itu. Karena mereka selalu memegang peranan penting dalam suatu kejadian.”
Mom, Embun. Tuhan?
Apa kata hatiku?
Sending is cancelled. File deleted.
***
2 January 2009. GMT-5
Mahameru Awan Gunawan is calling…
“Got the invitation already, Bella?”
“I’m looking at it”
“Great, will Neil accompany you?”
“I’ll make him. Wan, I think I’ll take the first flight on Wednesday. What is this? ‘No camera and article written about this event allowed’.”
“ I dunno, sorry Bella, I gotta go, bye”
Clark Adam Smith & Mahadewi Embun Gunawan
Bandung, 5 January 2009
No camera and article written about this event allowed
“Neil, you’ve to accompanny me to Clark’s wedding. First flight on Wednesday. Let’s get some dresses dan tux”
***
Aku ingin kau tidak hanya melihat, tapi juga merasakannya. Melihat dengan perasaan. Melihat dengan hati. Bahkan kalau bisa hanya merasakannya dan menyimpan cerita itu hanya untuk dirimu. Agar jiwamu memliki hati yang tetap hangat. Cobalah merasakan perasaan – Clark Adam Smith & Mahadewi Embun Gunawan

No comments:

Post a Comment