26
Desember 2004. GMT+7
Baling-baling
helikopter mengeluarkan suara desingan yang mengganggu, dan anginnya membuat
dedaunan semak yang tersisa semakin berantakan. Bella hanya bisa mencengkram
tanganku untuk meredam ketakutannya saat helicopter bermanuver vertical,
dikarenakan daerah landas yang sangat hancur, hanya tersisa beberapa meter
persegi tanah yang stabil dan aman didarati. 2 jam yang lalu kami mendarat di
kapal induk US Navy Seal di Samudra Pasifik dan kemudian menuju tempat ini
dengan helikopter.
Pendaratan
telah usai, aku membuka pintu helikopter untuk melihat keadaan sekitar. Oh Gosh! What heck on earth did it! Bau
amis langsung menerjang hidungku, dan sekarang, aku hampir tidak percaya apa
yang aku lihat. Mayat bergeletakan dimana-mana dalam keadaan yang mengenaskan,
kendaraan-kendaraan sudah tak berbentuk, pohon-pohon tumbang dengan posisi yang
aneh, bangunan rata dengan tanah, dan air laut menggenang dimana-mana, salah
satunya membuat genangan kecil di atas sepatu ketsku. Genangan kecil air laut
itu telah bercampur dengan lumpur, keringat, dan darah dari mayat-mayat
disekitar. Segala pemandangan dan bau ini membuatku pusing dalam waktu kurang
dari semenit.
Where I am? What the heck on earth
I’ve stepped on?!
***
25 Desember 2004. GMT-5
Aku menggambar-gambar kartun saat
mengisi waktu senggangku malam ini sambil menunggu Neil memberikan gambarnya
pada editor in chief.
Kami mendapatkan berita eksklusif penangkapan pelaku pencurian Bank of United
State yang menggemparkan itu beberapa jam lalu. Lelah menyergapku, bayangkan
saja aku tadi harus berlari dalam hujan salju untuk menjadi saksi proses
penangkapan itu agar dapat melaporkan dan membuat berita sedetil mungkin.
“Hei, hei, lihat
screen sekarang!” seru Mark dengan
tergesa-gesa dan napas terengah-engah.
Semua mata di ruangan ini sekarang
telah tertuju pada sebuah big screen ditengah ruangan yang sedang menayangkan breaking news dari sebuah stasiun tv asing. Semua orang
tercekat, mereka menatap tanpa berkedip, dengan tangan terkepal dan hati
berdegup. Ini adalah saat-saat menegangkan bagi para jurnalis haus pengalaman,
cerita, penuh nyali, dan tidak takut mati. Beberapa menit lagi nama-nama pasti
akan dipanggil, aku ikut menuggu dengan hati yang juga berdegup. Aku tidak tahu
itu dimana, tapi aku tahu aku ingin kesana. August disebelahku memanjatkan
doa-doa agar ia dipilih untuk dapat pergi, aku? Aku harus berdoa pada siapa?
Aku tak percaya pada mereka yang disebut-sebut namanya dalam permohonan
orang-orang.
Pintu ruangan
editor in chief terbuka, gerombolan orang
langsung terbentuk di depannya.jantungku berdegup cepat. Ia berteriak menyebut
beberapa nama dari ambang pintu dengan secarik kertas di tangannya. “Bella
Louisa, repoter. Neil Cowley, cameramen…mm”
Semua mata menatapnya dengan
tatapan cemas. Oh man,
Bella dan Neil akan pergi! Aku? Degup jantungku semakin cepat. Oo, you know
you need a great script writer, New York Times!
“.. Clark
Smith, script writer, and Tom Dan who has responsibility of them all! Get in my
room, now!”
Aku sangat lega, tapi lututku
lemas.
Location
: Country : Indonesia
Provence :
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
City : 149 km south of
Meulaboh
Details
: Earthquake-Tsunami
Tectonic 8,5 SR. Epicentrum : Indian Ocean (2,9
latitude and 95,6 altitude). Depth: 20 km underwater.
26 Desember 2004. GMT+7
“Neil,
cepatlah!”
“Oh
sabarlah sedikit Clark. Dimana lensa night mode-ku?” Neil mengacak-ngacak tas khusus
segala keperluan kameranya. “Nah, ayo Clark”, dia memasukkan kamera dan
lensanya ke tas kamera yang lebih kecil untuk dibawa.
Aku
dan Neil keluar dari tenda kami di hamparan rumput luas yang diisi banyak
tenda. Ini semua tenda milik para jurnalis dari berbagai negara yang ingin
meliput.
***
26 Desember 2004. GMT+7
“Jadi
begitu aturan yang harus kalian patuhi selama meliput keadaan disini, saya
harap anda semua sebagai kalangan yang terpelajar dapat memahami dan
melaksanakannya dengan baik. Terima kasih” penanggung jawab segala kegiatan
yang terjadi disini, Bireun, selesai memberikan penjelasan tentang aturan
peliputan. Dengan bantuan seorang jurnalis tv swasta dari Indonesia yang
memperkenalkan dirinya sebagai Awan, kami mengerti apa-apa saja aturannya.
“Jadi,
New Yorkers, kalian dari New York Times?” Tanya Awan, nampaknya dia dapat
menjadi patner yang baik dalam kegiatan memburu berita tragedi ini.
“Ya,
tadi pagi, mm, sekitar satu jam setelah kami mendapat berita tentang tsunami
ini, kami langsung diberangkatkan dari New York. Awan, bisakah kau menceritakan
padaku tentang kronologi kejadian ini?”
“Bagaimana
itu terjadi dan beberapa gambar jika kau punya mungkin?” lanjut Neil.
“Hh,
akan kuceritakan apa yang kutahu esok hari, dan gambar, you better watch by your biologic eyes than this mechanic eye, bro.”
ujar Awan sambil menunjuk lensa pada kamera yang tergantung di lehernya, ia
seorang cameramen juga ternyata.
“Besok?
Itu terlalu lama. Berikan saja dulu beberapa info kecil, Wan. Ayolah”
“Haha,
besok sajalah, sekarang perkenalkan dulu rekan setimku, Embun, dan Teuku, putra
tanah Aceh ini sendiri”
Aku
menjabat tangan Teuku, kesedihan terlihat jelas dari mata dan wajahnya, matanya
seperti menerawang penuh sedih dan wajahnya terlihat pucat. Awan mengatakan
adik Teuku belum ditemukan hingga hari ini dan ayahnya ditemukan dalam keadaan
tewas beberapa jam lalu, maka aku mejabat erat tangan dinginnya dan memberi
beberapa kata penyemangat, ia membalasnya dengan senyum tipis ganti kata terima
kasih.
Lalu,
Embun. Semampai, kulit kuning langsat kecoklatan khas Asia Tenggara, hidung
mancung, rambut hitam lurus melewati bahu yang dikucir kuda dengan
rambut-rambut yang mencuat keluar dari ikatannya. Dan yang sangat menyita
perhatianku adalah matanya, mata besar hitam yang memancarkan kecerdasan dan
terlihat sangat dalam, tanpa ujung. Dia menjabat tanganku sambil memberi senyum
ramah. She’s.. totally awesome.
“Oke
Clark, Neil, aku tunggu kalian di gerbang kamp besok jam 6 pagi”
“Kau
akan menceritakkannya esok hari kan, Wan?” sambar Neil antusias
“ No, I won’t, they will” Awan menyapukan
pandangannya kesekeliling tempat kami bekumpul yang penuh dengan benda-benda
yang sangat amat berantakan dan mayat-mayat yang bergelimangan dimana-mana.
Matanya yang awalnya memancarkan keceriaan dan kesupelannya berubah menjadi
nyalang, dan penuh kesedihan.
Dengan
seketika hawa berubah, Neil mengikuti pandangan Awan, ikut menyapukan
pandangannya, dan dengan segera mata dan raut wajahnya berubah, begitupula
denganku.
They will,
kata-kata ini mengingatkanku dimana kita berada sekarang, langsung menghentikan
napas jurnalisku yang selalu butuh berita bagaimana pun keadaan sekitar. Tapi
aku berada di lokasi pembantaian ratusan ribu orang oleh alam beberapa jam yang
lalu. Sekarang.
***
26 Desember 2004. GMT+7
Aku
dan Neil masih belum sepenuhnya sadar saat kembali ke tenda dan akan tidur.
“Dimana
tepatnya kita sekarang Clark?” Tanya Neil tanpa memadangku, matanya menatap
langit-langit tenda dengan tatapan nyalang.
“Di
tempat yang bisa aku sebut sebagai neraka. Tempat orang-orang yang tubuhnya kau
lihat dijalan meregang nyawa dalam hitungan detik tanpa surat wasiat dan
kata-kata terakhir” aku berbaring di sampingnya dengan keadaan mata dan pikiran
yang tidak jauh berbeda.
“Kau
tahu, baru saat ini aku merasa seakan aku adalah setan. Aku akan menyebarkan
foto sebuah mayat yang pada saat ia akan meninggal ia sedang berusaha
menyelamatkan anaknya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menyebarkan foto
mayat seorang kakek tua yang tetap berdoa di dalam masjid menatap ajalnya tanpa
mencoba melarikan diri. Menyebarkan pada dunia foto seorang ayah yang mencari
anaknya tanpa kenal waktu dan puluhan orang menangis di depan mayat orang-orang
tercintanya.” Dia membalikkan badannya memunggungiku.
Kata-kata
Neil meresap dengan sangat baik ke dalam otak dan.. hatiku. “Maka aku adalah
iblis, Neil. Aku menjual cerita orang tua yang kehilangan anak lengkap dengan ratapan
tanpa hentinya” Dadaku sesak, baru kali ini, disaat begini. Aku, makhluk tanpa
rasa kasihan. Aku menjual mereka.
Susah
sekali untuk memejamkan mata malam ini.
***
27 Desember 2004. GMT+7
Awan
dan Embun sedang memakai masker saat aku dan Neil tiba di gerbang kamp. Mereka
saling memakaikan masker, pemandangan yang sedikit mengiritasi mataku dan
membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
Awan
menyadari kedatangan kami, “Morning
Clark, Neil” melambaikan tangannya ke arah kami. High five dengan senyum yang sedikit dipaksakan sebagai ganti
balasan morningku padanya.
“Tidur
nyenyak Clark?” Embun mengeluarkan kata-kata pertamanya selain namanya sejak
kita bertemu, dan itu ditujukan padaku!
“Nyenyak
atau tidak, aku harus tetap tidur kan, hehehe”
“Iya,
kau benar. Rasanya aku selalu mendengar jerit tangis mereka yang kehilangan
orang-orang tersayangnya yang nanti akan kita pajang sebagai headline saat
mencoba untuk tidur”
Ternyata.
Embun merasakan hal yang sama seperti yang aku, Neil, dan Awan rasakan. Ironi
seorang jurnalis, dihadapkan pada rasa kemanusiaan yang harus mengorek-ngorek dan
mengekspos cerita duka orang lain. Dan mendapat prestise, materi, dan
pencapaian dari hal itu. Semakin menyedihkan berita yang kita dapat, semakin
besar jumlah uang yang didapat.
Ini
ironi jurnalis. Aku mulai berpikir tadi malam untuk tidak memberi berita
tentang kehilangan secara mendalam dari korban untuk kali ini, hanya mengekspos
tentang bencana tsunami dan proses evakuasi serta penyaluran bantuan yang
sedang berlangsung. Ini semua kulakukan untuk menghormati perasaan para korban,
pelajaran yang baru kudapat setelah 5 tahun bertugas sebagai seorang jurnalis.
***
27 Desember 2004. GMT+7
“Disini sebelumnya sebuah sekolah
dasar, katanya pada saat tsunami datang, anak-anak sedang bermain di lapangan
sebelah sana” Embun menunjuk sebuah daerah kosong yang penuh dengan lumpur di
seberang kami. Dia menemaniku berjalan-jalan sambil melihat-lihat dan
bercerita. Sedangkan Awan pergi dengan Neil ke daerah pesisir untuk mengambil
gambar kerusakan yang paling parah.
Aku membayangkan anak-anak sedang
bermain penuh gembira bersama-sama saat tiba-tiba gelombang setinggi puluhan
kaki datang menerjang mereka. Aku menekuri lumpur di bawah kaki, mengorek kisah
apa saja yang dibawa tiap inchinya.
“Clark, kemarin aku kemari, sekitar
4 jam setelah tsunami. Ini tempat yang pertama kutuju saat berjalan menyusuri
daerah sekitar kamp. Aku hanya diam di tempat ini, meyusuri tiap sudutnya, lalu
aku menyadari bahwa ini adalah sebuah sekolah dasar. Lalu aku melihat seorang
kakek dengan keadaan yang basah kuyup, baju robek-robek, badan kotor, yang
sedang berusaha masuk ke reruntuhan gedung sekolah, aku bertanya padanya ada
apa. Ia sedang mencari cucunya yang duduk di kelas 2. Ia selamat dari tsunami
karena ia sedang berada di bukit saat kejadian. Dan ia kembali ke sini untuk
mencari cucunya, cucu kesayangannya. Rencananya ia akan memberikan cucunya buku
cerita baru yang selama ini diinginkannya hari itu. Dia telah membeli buku
cerita itu, lalu pergi ke bukit, dan.. kau tahu kelanjutannya. Kakek itu datang
kesini sambil membawa buku cerita itu. Dia pun membuatkan sebuah puisi yang
indah untuk cucunya. Dia menceritakan semuanya padaku sampai menangis,
anak-anaknya, orang tua cucunya, ditemukan telah tewas. Satu-satunya yang belum
diketahui keadaannya adalah cucunya, ia sangat berharap cucunya masih hidup.
Cucunya, alasan dia berusaha untuk tetap hidup dan bertahan saat tsunami
datang, melawan arus, menyelamatkan dirinya dan tetap mengamankan buku
ceritanya. Setelah tsunami, mengabaikan keadaannya sendiri, dia langsung pergi
kesini mencari cucunya. Tapi ternyata, tidak ada seorang pun yang tersisa
disini, tapi dia terus mencari dan mencari.” Embun bercerita tanpa menatapku,
dan aku mendengarkan tanpa menatapnya, kami menatap reruntuhan sekolah di
depan. Jeda cerita ini membuatku mengimajinasikan semuanya, berperan seakan aku
adalah sang kakek.
“Dan kakek itu memperlihatkanku sebuah foto.
Fotonya yang sedang menggendong seorang anak kecil dipundaknya. Anak itu
terlihat sangat senang dan kakek pun tersenyum bahagia. Dia bilang, ia ingin
kejadian dalam foto itu terjadi lagi, jadi dia harus menemukan cucunya.” Embun
memandang ke arahku, mencari mataku. Senyumnya tipis dan getir.
Mataku memandang kosong ke depan,
jiwa jurnalisku yang ingin mengangkat semua kisah, senang atau sedih,
bergejolak, ini sebuah cerita dan berita yang sangat bagus. Aku ingin
mengingkari janjiku sendiri untuk membuat semua orang tahu cerita ini. Tapi
janji dan hatiku masih mencegahnya. Aku tetap memandang lurus ke depan. “Embun,
sedari tadi kita disini, di depan sebuah bukti sejarah. Kau sama sekali tidak
mengambil gambar?” tanyaku, kamera tersampir di lengannya.
“Aku ingin melihatnya, merasakannya
sendiri. Untuk kuingat sendiri, tanpa memberitahu dunia luar. Melihat yang
dirasakan orang-orang yang kehilangan itu. Melihat dengan perasaan. Melihat dengan
hati. Aku ingin menjadi manusia sekarang, yang ingin merasakan bagaimana
rasanya jika aku meratap di depan mayat anakku, lalu ada seseorang memotretku
dan keesokkan harinya fotoku menjadi headline di dunia luar. Kadang jiwa kita
tak punya hati, Clark”
Aku, fotoku di depan mayat ibuku,
tercetak di ribuan eksemplar koran, tersebar di ribuan website. Cerita sedihku
yang tak ingin kubagi dan diungkit diketahui semua orang. Lalu orang yang bahkan
sama sekali yang tidak kukenal memberi kata turut berduka cita, hal yang paling
tak kusuka. Aku ingat, itu terjadi 10 tahun yang lalu, kejadian yang sangat
kubenci karena semua orang tahu ibuku meninggal dan semuanya menatapku dengan
tatapan iba yang seakan aku tak mampu apa-apa, bagaikan anak anjing yang
dibuang.
Janjiku.
***
27
Desember 2004. GMT+7
Laki-laki
di depanku ini berumur 13 tahun. Lelaki tampan dengan kemampuan bahasa Inggris
yang baik. Aku bertemu dengannya saat dia sedang mencari di reruntuhan. Mencari
adiknya. Aku mengajaknya untuk mengobrol sebentar, sambil membantunya mencari
adiknya. Ia menceritakan bagaimana ia sangat sayang pada adiknya, bagaimana
mereka berdua sudah menyiapkan kejutan ulang tahun untuk ibu mereka minggu
depan. Hingga ia bercerita saat adiknya diganggu oleh teman-temannya atau saat
ia mendapati adiknya mendapat surat dan coklat dari teman lelakinya. Saat adiknya
menangis melihat ia jatuh dari sepeda, dan saat adiknya memeluk erat dirinya
karena ketakukan melihat hantu di rumah hantu. Ia bercerita sampai menangis.
“Bagaimana
perasaanmu kalau ada seseorang menjual ceritamu ini?”
“Tidak
bisa terdefinisi, aku marah, sedih. Perasaan bukan hanya kata benda, tapi juga kata kerja. Merasakan perasaan,
perasaan itu sebuah kata benda, merasa adalah kata kerja. Kau harus merasakan
sebuah perasan. Aku tidak butuh pemberitaan semacam itu, aku hanya butuh
adikku.”
Aku
tahu itu. “Kalau yang menjual beritamu seorang jurnalis? Mereka butuh itu untuk
kehidupannya”
“Tak
bisakah mereka membuat berita lain selain drama kehidupan orang? Aku tak ingin
jadi jurnalis, mereka menjual cerita-cerita terburuk orang lain. Saat mereka
tak peduli perasaanku, haruskah aku peduli akan hidup mereka? Kurasa tidak”
“Kalau
aku ini seorang jurnalis?”
“Tak
akan kumaafkan kau seumur hidupku, bukankah lebih baik jika kau hanya membantuku,
hanya membantu, tanpa mempermalukan dan memberiku semacam luka.”
“Kalau aku tetap menulisnya?”
“Apa yang bisa aku perbuat? Hanya,
semua hal butuh hati. Detektif memiliki tingkat kepekaan privacy yang sangat tinggi, lebih tinggi dari orang
kebanyakan. Karena mereka tahu rasanya saat privacynya dilanggar, meski tidak merasakannya sendiri. Jurnalis pun bisa
lebih peka perasaannya terhadap suatu kejadian daripada narasumber yang
merasakannya sendiri.”
Ia benar
“Menurutku Tuhan sengaja membuatnya
seperti itu, agar mereka dapat berpikir sebelum bertindak, karena mereka hidup
di medan abu-abu, Tuhan selalu memberi petunjuknya dengan perasaan itu. Karena mereka
selalu memegang peranan penting dalam suatu kejadian.”
Tuhan?
***
28 Desember 2004. GMT+7
Semua
peristiwa kemarin terus terbayang. Sejak percakapan-percakapan itu aku hanya
dapat berjalan menyaksikan kerusakan kota ini tanpa mampu mengambil gambar atau
merangkai cerita.
Sebuah
file telah terketik rapi di notebookku,
aku tinggal menekan enter dan
beberapa detik kemudian kisah sedih seorang ayah yang kehilangan anak-anaknya
akan tiba di New York. Bella memberiku berita ini saat aku sampai ke tenda
dengan keadaan bimbang, dia memintaku mengubahnya menjadi sesuatu yang menarik. Ini akan dihargai sangat mahal
katanya.
Jujur,
aku ingin prestise yang akan aku dapat di dunia jurnalistik jika aku dapat
mengekspos semua kisah sedih yang ada disini, kisah sedih yang nyata. Tapi, aku
juga teringat perasaanku 10 tahun yang lalu. Selalu mendapat tatapan iba.
Tapi
itu wajar, Clark. Lupakan itu semua, kau pun nantinya akan bereaksi sama jika
kau menjadi orang lain. Siapa lagi yang dapat menulis kisah sebaik dirimu, tak
ada. Artikelmu akan menjadi bahan perbincangan di New York, bahkan dunia.
Clark,
kau pernah merasakannya, saat semua orang tahu dan selalu mengaitkanmu dengan
kejadian yang tak ingin kau bagi dengan siapa pun. Saat kau benci cerita
terburuk dalam hidupmu menjadi bahan bacaan ribuan orang, bahkan ada yang
menertawaimu karena cerita itu.
Hanya
hal wajar yang kau rasakan dulu itu. Pikirkan, setelah kepulanganmu ke New
York, aku yakin, seorang Clark Adam Smith tak akan sama lagi seperti dulu,
harus berlomba bersama puluhan orang lainnya hanya untuk mewawancarai kepala
NYPD.
Kau
tahu rasanya, Clark. Kau melihatnya, kau merasakannya. Kau merasakannya dan
sekarang kau melihatnya.
Ini
pekerjaan jurnalis, tidak ada yang salah dari ini semua.
Clark,
jurnalis hanyalah sebuah profesi, pakai hatimu. Kau punya kuasa, tapi tak semua
jiwa punya hati. Clark, kau tahu rasanya diperlakukan tanpa hati.
Beep.
SMS dari Embun.
‘Aku mendengar apa yg Bella
bicarakan dan apa yg mau dia dan kau lakukan. Aku hanya mau memberi tahumu, di
dunia ini ada 3 macam gol,. Yg menciptakan perang, yg mencegah dan mengobati luka perang, dan yg
mengharapkan perang utk sebuah drama. Apa kita hrs menjadi pemburu drama
ditengah perang, Clark?’
Ini
kesempatan emasmu Clark, ini akan lebih menghebohkan daripada berita
penangkapan perampok Bank of United State atau beritamu dari Israel bulan lalu.
‘Adam, the last thing you’ve to
have even when you’ve nothing remain is this, heart’
‘Heart? I’ve to keep it pounding to
make me still alive, Mom?’
‘Hahaha, no, keep it warm, honey.
Think and decide with your heart also. Make it always feels everything. When
you’ve nothing, even your knowledge, people will still help you if you let your
heart always feels and warm.’
“Perasaan bukan hanya kata benda,
tapi juga kata kerja. Merasakan perasaan, perasaan itu sebuah kata benda,
merasa adalah kata kerja. Kau harus merasakan sebuah perasan.”
“Menurutku Tuhan sengaja membuatnya
seperti itu, agar mereka dapat berpikir sebelum bertindak, karena mereka hidup
di medan abu-abu, Tuhan selalu memberi petunjuknya dengan perasaan itu. Karena mereka
selalu memegang peranan penting dalam suatu kejadian.”
Mom,
Embun. Tuhan?
Apa
kata hatiku?
Sending is cancelled. File deleted.
***
2 January 2009. GMT-5
Mahameru
Awan Gunawan is calling…
“Got the invitation already,
Bella?”
“I’m looking at it”
“Great, will Neil accompany you?”
“I’ll make him. Wan, I think I’ll
take the first flight on Wednesday. What is this? ‘No camera and article
written about this event allowed’.”
“
I dunno, sorry Bella, I gotta go, bye”
Clark
Adam Smith & Mahadewi Embun Gunawan
Bandung,
5 January 2009
No
camera and article written about this event allowed
“Neil, you’ve to accompanny me to
Clark’s wedding. First flight on Wednesday. Let’s get some dresses dan tux”
***
Aku
ingin kau tidak hanya melihat, tapi juga merasakannya. Melihat dengan perasaan.
Melihat dengan hati. Bahkan kalau
bisa hanya merasakannya dan menyimpan cerita itu hanya untuk dirimu. Agar
jiwamu memliki hati yang tetap hangat. Cobalah merasakan perasaan – Clark Adam
Smith & Mahadewi Embun Gunawan
No comments:
Post a Comment